Dialog Hujan dan Tanda Tangan
"Na, cepat! Sudah jam berapa sekarang?
Lelet sekali!" Nana memang begitu, wanita yang super ribet bin ayal dan
saya lebih setuju dengan hal-hal simpel. Hari masih pagi, 7:15. Sedang
kedatangan gerimis. And.. let's begin!
Nana sudah siap, serdadu kampus akan melaju, melewati 6 lampu lalu lintas. 30
menit saja. Jika mendesak 18 menit. Tilang? Makanan sehari-hari, mungkin sudah
tercatat 6 kali tercicipi. Pelanggarannya bermacam, tetapi menerobos lampu
merah yang jadi langganan.
Hei, saya Bella, semester tujuh. Mahasiswa
yang tidak dikenali karena tak aktif organisasi. Saat pembelajaran berlangsung,
saya lebih suka duduk di belakang, deratan bangku di bawah pendingin ruangan.
Jika bosan langsung pasang headset,
jika ngantuk langsung tidur saja. Saya hanya bersemangat pada mata kuliah
dengan ciri khas dosen yang dikutuk 'the
killer' oleh warga kelas, karena saya suka tantangan dan tidak menyenangi
topik membosankan. Tidak hanya membuat takut, biasanya dosen-dosen seperti ini
selalu punya cara gampang untuk membuat mahasiswa menyerap setiap materi yang
diuraikannya. Saya suka. Meski tergolong menjadi mahasiswa malas, nilai saya
tidak ada yang mengecewakan. Tidak tinggi, pun tidak rendah. Sejauh ini, masuk katagori
cumload. Padahal saya bukan tipikal
mahasiswa yang terlalu banyak muka di kelas. Mengumpul tugas tepat waktu,
presentasi, menjadi peserta diskusi dgn semestinya, menghafal atau mempraktikan
sesuatu saat disuruh, dan ujian. Itu saja. Semua di jalankan hanya terfokus pada
standarnya, tidak menuntut untuk melakukannya dengan sempurna. Tidak terobsesi
untuk memiliki nilai tinggi. Dan, wanita diboncengan absolut merah yang sedang
saya kendarai progresnya setingkat lebih bagus, kadang lebih semangat pun lebih
percaya diri. Dan, nilainya tak jauh beda, bahkan angka dibelakang komanya
lebih rendah dari angka yang saya miliki. Hihihi...
Nana, panggilan sehari-harinya. Sahabat
sekaligus saudara, murid sekaligus guru, pembokat sekaligus majikan, dan kadang
jadi psikolog skaligus pasien tetap saya. Kata orang, Nana dan saya seperti
kancing dan baju. Entahlah, kenapa tidak memakai perumpamaan lain mungkin
piring dan gelas, sendok dan garpu, atau apa. Kami tinggal satu rumah, satu
kampus, dan satu kelas, sejujurnya membosankan tiap hari harus memandang
wajahnya. Oh ya, saya dan Nana sama-sama hidup di perantauan. Orang tua kami
tinggal di desa, dan dari pada kos dengan biaya luar biasa lebih baik di rumah
saudara. Kami bisa dengan kompak berboncengan pergi ke kampus dengan mengendarai
sebuah sepeda motor.
Saya mengenal Nana 3,3 tahun lalu, saat masuk
kampus di hari pertama. Oke sedikit #flashback... Waktu itu, saya dan
yang lain duduk di tangga gedung perkuliahan dengan keadaan tidak saling
mengenal. Satu diantara kami memulai untuk memperkenalkan diri, yang lain
begitu, dan saya juga. Sebenarnya, saya paling tidak menyukai momen perkenalan.
Dari masuk SD hingga tamat SMA, saya hidup dan mengenal orang-orang tanpa ada
yg namanya kenal-kenalan, salam-salaman, atau basa-basi lain, kecuali ada yang
memulai duluan. Saya mengenal siapapun dalam sebuah lingkup pergaulan hanya
memanfaatkan berjalannya waktu.
"Nana, Program Studi Bahasa dan Sastra
Indonesia" ucapnya dengan senyum sumringah sembari menyodorkan tangan.
Saya menyambut, ikut tersenyum, dan menyebutkan nama. Ada yang saya ingat, Uwak (istri dari kakak ibuku) pernah
bercerita, keponakannya (tepatnya anak dari adik Uwak) dengan nama Nana, juga masuk ke universitas dengan jurusan
yang sama dengan saya. Sayangnya kami tak pernah bertemu sebelumnya. Untuk
memastikan kucoba bertanya ragu, "apa kamu Nana, keponakannya Uwak
Melati?"
Ia menatap dengan ekspresi bingung, seperti
memikirkan sesuatu "Iya. Ah.. apa kamu Bella yang tinggal di
rumahnya?" saya mengangguk. #flashbackoff sejak saat itu saya
dan Nana menjadi akrab. Nana yang awalnya in
the kos akhirnya juga memutuskan untuk tinggal bersama Uwak Melati semester ini. Btw,
Uwak Melati dan keluarga adalah orang-orang yang tidak punya seribu keribetan.
Tidak terlalu cerewet. Juga tidak resek. Penuh kasih sayang. Tak banyak aturan
dan sebaginya. Tinggal bersama mereka tak ubahnya tinggal di rumah sendiri,
mereka menjelma menjadi Bapak dan Ibu kandung. Saya selalu merasa terjaga.
***
Tidak ada jam kampus hari ini, Nana dan saya
hanya mengais ilmu dari pembimbing sebagai bekal tugas akhir. SKRIPSI. Dan yang
kami ajukan, baru judulnya. Sungguh tidak gampang mengatur waktu, karena
sebelumnya kami di tugaskan di sekolah. Magang 3. Menjadi guru sejenak. Mendapat
guru pamong yang lebih "killer"
dari dosen-dosen saya, sudah berjuang sekeras tenaga tetapi diapresiasi dengan
nilai seadanya. Tetapi, kesal tak akan menyelesaikan masalah. Kata 'tak adil'
takkan membuat keadaan berubah.
Tiba di kampus lalu menunggu. Lagi-lagi saya
dan Nana mendapat pembimbing 1 yang sama, dosen yang paling berpengaruh di
prodi kami, paling disegani diantara dosen yang lainnya, paling dihindari untuk
menjadi pembimbing skripsi bagi mahasiswa lain, tetapi bagi saya dia adalah masternya
teori sastra di universitas ini, sejurus dengan penelitian yang akan saya
kerjakan.
Tantangan yang membuat lebih degdegan, saya
disuruh pembimbing 2 untuk menghadap pembimbing 1 terlebih dahulu karena basic pembimbing 2 lebih pada persoalan
kependidikan, sedangkan aturannya harus disetujui pembimbing 2 terlebih dahulu
untuk menghadap ke pembimbing 1. Tetapi, rasa takut ini tidak
menghancurkan niat untuk mencoba menemui
pembimbing 1. Dan… ternyata benar, hari itu saya dibimbingnya setelah seharian
menunggu bergabung dengan jadwal bimbingan Kakak Tingkat (yang belum diwisuda).
Ia mempersoalkan tentang teori, dan mempertanyakan mengenai judul yang saya
ajukan. “Kamu baru S1, bukan S3. Ambil satu pokok masalah saja!” cacatnya
setelah membaca judulku. Pengalaman pertama mengajukan judul tergoreskan
catatan zonk ACC pada diary
skripsiku. “Nanti judul ini kau lanjutkan S2!” ujarnya, sedikit menggoda
santai. Moodnya tampak begitu baik
hari itu. Dia menyarankan untuk memperpendek judul dan mengumpulkan teorinya terlebih
dahulu, kemudian menghadap ia lagi.
Tidak menyerah, saya dan Nana mempetualangi pustaka
dan tokoh buku di kota ini. TEORI ITU ENTAH DI MANA!? Karena terlalu pusing, saya
memutuskan untuk merubah judul penelitian yang akan diajukan, begitu pula dengan
Nana. Kami mengahap ke-2 kalinya, "ini cakupannya terlalu luas!" komentar
pembimbing 1 kami itu, padahal teori tentang itu sudah cukup terkumpul.
"Kamu ambil yg bagian ini saja!" Sarannya. Saya dan Nana mendapat
kasus yg sama, bimbingan ke-2 gagal lagi ACC.
"Besok Bunda masuk?" Kuberanikan
diri untuk bertanya jadwal.
"Iya, besok saya jam satu di C6!"
Di dalam hatiku seolah berkata
"Yeay" tunggu kami esok.
Hujan sedang menghiasi November, saya dan Nana
kembali melaju. "Jangan menyerah, Bel. Kita baru dua kali mengajukan
judul, tak apa ditolak, bagaimana mereka yang sudah sampai tujuh kali-an itu.
Setiap hari, ya tiap hari kita hadapi. Yang penting ACC. Kita buat ia pusing
dengan wajah kita haha" semangat Nana yang saat itu sedang mengendarai
motor dan aku duduk di boncengannya.
"Iya, Na, kamu benar, dan sebetulnya kita
masih punya banyak waktu, mari memanfaatkan dengan sebaik-baiknya!!
Haha.." jawabku.
Bimbingan ke-3, masih dengan cerita tentang
menunggu. Menunggu hingga sang pembimbing selesai mengajar adik tingkat.
Menunggu di kursi tunggu. Bermain dengan motivasi dan sedikit cekikan gila,
membahas hal yang kadang di luar logika bersama Nana, Jono, dan Adi yang juga
sedang memperjuangkan tanda tangan wanita tua hebat itu. Dan, 2 jam menunggu,
pembelajaran selesai, bergegas kami masuk ke ruangan itu. Dengan pertanyaan
menegangkan, jawaban yang menguji percaya diri, dan lapar yang bergetar...
lingkar tinta pena menyentuh berkas yang saya ajukan, dan bahagia ini lebih
dari jatuh cinta. Seperti menemukan harta karun yang tersembunyi ribuan tahun.
ACC! Akhirnya ACC!! Begitu pula dengan Nana, tetapi Jono masih dipersoalkan
tentang teori. Sedangkan Adi, juga memperoleh tanda tangan di laporan
magangnya.
***
Satu tantangan lagi, tanda tangan pembimbing
2.
Sabtu pagi, pesanku mendapat balasan. "Bapak sedang ada
kegiatan di Seluma, temui saya jam 19.00" tertera satu alamat
menyertai pesan itu. Lagi-lagi pertanda bagus.
Usai magrib, tepatnya pukul 18:40 gerimis
masih setia, dan perjanjiannya 19.00 WIB harus sudah berada di rumah pembimbing
2. Saya tak mau kalah dengan absolut merah
yang tidak pernah mau menyerah, begitu gagah untuk dikendarai. Mempermasalahkan
hujan tak cukup menjadi alasan. Pacu! Masih bersama Nana, meski tak satu
pembimbing, masih ia yang menemani dan senin pagi giliran saya yang akan
menemaninya menghadap pembimbing 2. Setengah perjalanan rinai gerimis berganti
hujan, kuyup jika tak berhenti. 10 menit berteduh di tempat aman, warnet yang
sedang sepih pengunjung, hujanpun redah.
Absolut merah itu kembali melaju. Sesuai arahan google map, aku dan Nana
tiba tetapi masih tak berani melangkahi pagar rumahnya karena tak mau di cap
kurang sopan sebab suara adzan isa sedang menggemah. Lagi-lagi menunggu. 5
menit adzan usai, saya dan Nana memberanikan diri masuk ke pekarangan rumah
orang penting yang kabarnya beberapa hari lagi akan dilantik menjadi rektor ini,
sebab rektor universitas kami mengundurkan diri, terlibat dalam mencalonkan
diri menjadi anggota dewan tahun depan.
Menegangkan. Hujan semakin deras. Seorang wanita
tua membuka pintu depan rumah, “Bisa bertemu Bapak, Bu?” Tanya saya setelah
menyalimi tanggannya.
“Bapak ada di belakang, lewat pintu samping
saja” sarannya, aku dan Nana pun pergi ke arah teras samping. Suara hujan
menyamarkan ketukan tangan saya pada pintu samping rumah Pembimbing 2,
berkali-kali mengucap salam pintu tak kunjung terbuka. Kembali menunggu beberapa
menit. Dan, yess pintu ‘harapan’ itu terbuka, dia keluar, Bapak tua berkepala
plontos. Ia duduk, memeriksa berkasku. “Kenapa harus ini?” ia menunjuk sebuah
kalimat. Berbekal pengetahuan dan teori yang saya ketahui saya pun memberi
jabaran dan sedikit bercerita tentang penelitian yang akan saya lakukan
nantinya. Dan pena kemenangan itu kembali tergoreskan di atas nama dan nomor
NIP –nya. Asyik, bahagiaku lebih dari mendapat tanda tangan artis
internasional.
Pagi Senin, giliran Nana yang menghadap,
pembimbing 2 nya sempat mengomel karena judul yang Nana ajukan pertama kali
ditolak pembimbing 1 walaupun sudah ia setujui. Namun, setelah itu ia
menggoreskan alias menyetujui kembali judul yang Nana ajukan.
Yeay, Asyik, judul kami disetujui!!!!!
Sudah bisa start
menggarap penelitian sekarang!!!!!
